Forum Lingkar Pena atau FLP, organisasi kepenulisan terbesar di Indonesia yang berdiri pada 22 Februari 1997. Organisasi yang telah berusia 16 tahun ini, pada 30 Agustus 2013 hingga 1 September 2013 yang lalu menyelenggarakan Musyawarah Nasional (MUNAS) ke-3 di pulau dewata, Bali. Bagi sebagian orang, nama organisasi kepenulisan yang satu ini mungkin sudah tak asing lagi. Organisasi ini cukup terkenal karena beberapa karya dari anggotanya telah mampu memikat hati pembaca di Indonesia hingga mencapai tingkat best seller, bahkan ada yang telah diterjemahkan dalam bahasa lain dan difilmkan. Hari pertama acara Munas FLP dibuka dengan agenda seminar umum dengan tema “Quo Vadis Penulis Indonesia di Era Digital”. Sebuah keniscayaan bagi para penulis Indonesia, terutama para penulis anggota FLP, harus mampu beradaptasi dengan era digital seperti saat sekarang ini. Era dimana informasi begitu mudah tersebar luas hingga ke penjuru dunia. Oleh sebab itu, penulis FLP harus mampu menghasilkan karya tulis berkualitas dari segi isi (content) yang mampu memberikan pencerahan dan pengetahuan bagi pembacanya. Dalam seminar yang dimoderatori oleh M. Irfan Hidayatullah (mantan ketua umum FLP asal Bandung) itu, turut diundang beberapa pembicara, yaitu novelis Habiburrahman El Shirazy, sastrawati Bali Oka Rusmini, Bapak Haris staff ahli PT. Telkom Indonesi, dan juga bapak Mabruri staff ahli kementerian komunikasi dan informatika (Kemkominfo).
Di era digital, buku yang selama ini dijual dalam bentuk fisik (hardcopy) kini dijual dalam bentuk nonfisik (softcopy) atau sering disebut dengan buku digital atau buku elektronik (ebook). Ada beberapa keuntungan dari transformasi buku hardcopy ke buku softcopy, pertama, buku dapat dinikmati pembaca tanpa perlu dicetak. Kedua, buku menjadi mudah dalam penjualannya. Ketiga, buku menjadi mudah diperoleh. Keempat, buku sangat mungkin dibaca oleh pembaca di seluruh penjuru dunia karena penjualannya yang menggunakan toko online, yaitu toko yang menggunakan media jaringan internet (website) sebagai lahan jual-belinya. Oleh sebab itu, kualitas content buku menjadi sangat penting untuk diperhatikan. Karena pembaca tidak hanya berasal dari Indonesia namun juga dari negara-negara lain di dunia. Demikian disampaikan oleh bapak Haris, salah satu pembicara seminar yang diundang oleh panitia MUNAS FLP ke-3 mewakili PT. Telkom Indonesia. Berkait dengan toko online, PT. Telkom Indonesia telah menyediakan laman toko buku online (www.qbaca.com) yang telah banyak memasarkan buku-buku digital. Apabila kita tilik dari sisi penyebaran nilai-nilai kebaikan dalam suatu karya tulis, maka kenyataan ini memungkinkan para penulis muslim dapat dengan mudah menyampaikan ilmu dan kebaikan kepada pembaca dimana pun mereka berada, tentunya bagi mereka yang dapat terhubung dengan jaringan internet. Hal ini merupakan tantangan yang harus dijawab dengan tepat oleh para penggiat dakwah kepenulisan, terlebih lagi publikasi karya tulis secara digital ini juga memiliki kekurangan, yaitu karya tulis menjadi mudah di copy (salin) dan paste (tempel) oleh orang lain. Semua tentunya kembali kepada niat para penulisnya!
Manajemen Content
Berkait dengan manajemen content karya tulis, supaya karya tulis yang di-digitalisasi mendapat sambutan positif dari pembacanya. Sastrawati Bali yang juga wartawati Bali Pos, Oka Rusmini menyampaikan bahwa dalam menuliskan karya tidak perlu bergagah-gagah dan tekstual dalam hal penggunaan kata-kata. Utamakan kemanfaatan tulisan kita bagi orang lain. Senada dengan Oka, Habiburrahman El-Zhirazy juga menyampaikan, “Janganlah tulisan itu terlalu ideal bahasanya, sesuaikan saja dengan kondisi pribadi kita (penulis)”. Penulis novel Ayat-ayat Cinta ini juga menyampaikan sebuah ayat Allah SWT dalam Al-qur’an, “Janganlah kita mengatakan apa-apa yang tidak kita kerjakan, karena Allah akan membenci diri kita”. Menurutnya, manusia itu bisa bersatu jika bersama-sama melihat keindahan dan kebaikan, sehingga untuk mampu menarik minat mereka terhadap sebuah karya tulis, maka isi karya tulis itu haruslah tentang keindahan-keindahan dan kebaikan-kebaikan. Dengan pemaparan kedua pembicara tersebut, maka manajemen isi karya tulis harus diperhatikan oleh setiap penulis. Tidaklah perlu memperumit rangkaian dan pilihan kata, karena yang paling utama adalah terserapnya nilai-nilai kebaikan dan keindahan dalam suatu tulisan oleh pembaca secara maksimal. Sehingga menghadirkan inspirasi dan aksi-aksi kebaikan dari para pembacanya.
Penulis Muslim dan Televisi (TV)
Dalam seminar umum tersebut, panitia MUNAS FLP ke-3 sebenarnya juga mengundang ustadz Tifatul Sembiring menteri komunikasi dan informatika (Menkominfo), yang diharapkan dapat menyampaikan beberapa hal terkini mengenai bagaimana seharusnya peran penulis muslim dalam menyebarkan kebaikan di era digital yang tak kenal kompromi ini. Namun karena adanya agenda yang bersamaan akhirnya beliau tidak dapat hadir dalam pertemuan nasional penulis-penulis muslim Indonesia tersebut. Beliau menyampaikan permohonan maaf atas ketidakhadirannya dan mengutus staff ahlinya, bapak Mabruri. Dalam seminar yang dihadiri ratusan penulis muslim dari berbagai penjuru Nusantara itu, pak Mabruri menyampaikan bahwa pemerintah Indonesia dalam hal ini Kemkominfo, pada tahun 2018 mendatang akan menonaktifkan penggunaan TV analog dan menggantinya dengan TV digital. Hal ini disebabkan oleh adanya kelebihan dari TV digital dibanding TV analog. Berkaitan dengan informasi tersebut, moderator yang merasa penasaran maka langsung bertanya, “Apa hubungannya dengan penulis mas?” panggilan akrab moderator kepada pak Mabruri. Kemudian pak Mabruri menjawab, “Ini yang menarik! Sudah saatnya penulis merubah paradigmanya tentang karya tulis. Paradigma yang dimiliki penulis selama ini kan penulis -menulis untuk dibaca-, maka paradigma itu harus diganti dengan penulis -menulis untuk dilihat/didengar-“
Di era digital ini, telah terjadi digitalisasi proses penyebaran informasi, yaitu selain penggunaan jaringan internet juga menggunakan televisi (TV) sebagai medianya. Hal ini merupakan peluang bagi penulis muslim Indonesia untuk mampu mem-visualisasikan ide dan pesan-pesan kebaikan dalam tulisannya, yaitu dengan menjadi penulis berita, atau penulis skenario film/sinetron untuk program acara stasiun-stasiun TV di Indonesia. Apa tujuannya? Yaitu supaya materi-materi program acara TV yang dinikmati oleh pemirsa mampu memberikan pendidikan (edukasi) tentang nilai-nilai kebaikan yang akan mempengaruhi pola pikir dan peri kehidupan mereka semua, termasuk anak-anak kita. Inilah saatnya para penulis bermoral kebaikan mengambil peran dalam upaya memperbaiki moral sumber daya manusia Indonesia. Jangan biarkan generasi muda dan anak-anak dirusak dengan tayangan-tayangan di TV yang skenarionya ditulis oleh penulis-penulis hamba syahwat dan kemaksiatan (/fiq).
Oleh: Taufiq D.S. Suyadhi
Wakil Ketua FLP wilayah Yogyakarta
2 comments:
bahasa jurnalisnya udah dapet kok mas taufiq...
Isinya juga lengkap, sangat berisi pesan2 dr seminar yg kemarin itu. Ya, tinggal pesan itu bisa kita convert jadi aksi atau gak kan ya?? Peluangnya banyak bgt, tv digital, internet, dsb... Sip2, tinggal FLP aja nih yg ngisi nantinya.. :)
Betul itu mbak fannie, penulis muslim harus bisa menjawab tentangan tersebut dengan tepat. Termasuk kita di FLP jogja. Jika tidak maka tentunya yang akan subur berkembang adalah para penulis yang karya tulisnya merusak moral & pola pikir anak bangsa ini, Indonesia.
Posting Komentar